PONOROGO — Kenaikan harga kedelai impor hingga menembus Rp10.500 per kilogram membuat para perajin tempe di Kecamatan Pulung, Ponorogo, kelimpungan.
Tak hanya menghadapi lonjakan biaya produksi, mereka juga harus menyiasati turunnya permintaan pasar yang mulai terasa sejak awal Ramadhan.
Di Dusun Krajan, Desa Wotan, sejumlah produsen memilih bertahan dengan langkah-langkah efisien. Suwandi (45), salah satu pembuat tempe di desa tersebut, mengaku terpaksa mengecilkan ukuran tempe produksinya agar tetap bisa bertahan di tengah mahalnya bahan baku.
“Kalau saya naikkan harga, takutnya malah nggak laku. Jadi ya ukurannya yang saya kecilkan. Sekarang harga kedelai sudah lebih dari sepuluh ribu, berat untuk usaha kecil seperti kami,” ujar Suwandi saat ditemui, Kamis (1/5/2025).
Harga kedelai sempat stabil di kisaran Rp9.200 per kilogram pada awal Ramadhan. Namun dalam beberapa pekan terakhir, harga melonjak tajam hingga kini menyentuh Rp10.500. Kenaikan yang cukup drastis ini membuat para pelaku usaha rumahan makin terjepit.
Hal senada juga disampaikan Sugiyanti (40), perajin tempe lainnya. Tak hanya ukuran tempe yang dikurangi, jumlah produksi pun terpaksa dipangkas karena daya beli masyarakat ikut menurun.
“Dulu saya biasa ambil satu ton kedelai, sekarang separuhnya pun kadang belum habis. Permintaan menurun, stok juga jadi nggak berani banyak,” tuturnya.
Para perajin berharap harga kedelai bisa segera kembali normal. Jika situasi ini berlangsung lama, mereka khawatir keberlangsungan usaha yang menjadi penopang ekonomi warga setempat akan terganggu.